Saya sudah lama tidak jalan-jalan. Ini adalah premis utama dari artikel di blog ini, dan lebih lanjutnya, saya sudah lama tidak jalan-jalan dengan geng cewek-cewek heboh nan ceria. Maklum, kebanyakan going solo meskipun katanya, berdua lebih baik dibandingkan sendiri.
Saat Mbak Mega mengutarakan sebuah ide cemerlang untuk pergi ke Tangkahan, di daerah Langkat, Sumatera Utara untuk melihat penangkaran gajah sumatera, saya langsung setuju tanpa tahu akan melakukan apa di sana. Saya sebenarnya sudah curiga sejak awal kalau memang geng cewek-cewek ini sebenarnya memiliki niat utama yaitu: bertemu Nicholas Saputra karena kami menginap di penginapan yang beliau miliki, Terrario Tangkahan.
Gajah dan refleksi akan kesendirian
Perjalanan ini membuka pemahaman baru mengenai gajah dan kesendirian, bagaimana ternyata gajah jantan adalah makhluk hidup yang berkelana sendiri dan tentang bagaimana lagu Tulus yang berjudul "Gajah" itu ada benarnya juga. Apa ya yang dirasakan oleh gajah jantan ketika berkelana? Apakah ada rasa ingin ditemani dalam perjalanannya mencari makan? Apa yang gajah jantan rasakan ketika mengalami ketakutan, dengan siapa gajah jantan tersebut berbagi perasaannya?
Perasaan kesendirian tersebut yang kemudian membuat saya berpikir lebih lanjut mengenai dealing with loneliness, seberapa jauh kita nyaman atau bahkan berdamai dengan yang namanya kesendirian. Orang-orang menganggap bahwa kesendirian sebagai sebuah momok karena terbiasa dengan pandangan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial dan komunal, padahal bukankah kelahiran, kehidupan dan kematian, sejatinya dilalui oleh manusia, seorang diri?
Seiring dengan berjalannya waktu saya pada akhirnya menyadari bahwa semakin tua usia seseorang, maka kesendirian adalah hal yang menakutkan. Apalagi saat teman, sahabat, rekan kerja atau acquitances lainnya tidak lagi bisa secara konstan memberikan perhatian atau bahkan dihubungi. Bisakah kita berdamai dengan kondisi (a) panggilan tak terjawab, (b) pesan yang di-read saja dan dibalas kapan-kapan (atau mungkin, hanya di-read), dan (c) kemudian jatuh ke persoalan: craving attention from people that we do not know adalah sebuah tragedi.
Bagian yang paling akhir ini yang kemudian seringkali dialami oleh para dewasa muda, atau bahkan kita acapkali membiarkan diri kita untuk dimanfaatkan oleh beberapa orang hanya karena ketakutan akan kesendirian. Berapa banyak kita yang kemudian merasa sepi saat pesta telah usai? Saat bill buka botol di klub dansa terkemuka telah di-close dan kita yang membayar? Ketakutan akan kesendirian tahu-tahu menyergap,tanpa ba-bi-bu, dan ini yang membuat kita kemudian mengulang siklus yang sama: craving attention from people that we do not know.
Bukankah kita pernah atau sedang di dalam pola yang demikian? Sebuah perenungan yang menarik, saya berasa dikeramasin sama gajah.
Terima kasih Emil, Mbak Mega dan Chochi yang menemani tidur trip kali ini.
Selamat berakhir pekan! Lewi Aga Basoeki | legabas | September 2024