"Kapan sih kamu udah 'nggak sedih?"
Saya tersentak kaget saat mendengarkan pertanyaan (atau lebih tepatnya kalimat paksaan) dari seseorang, beberapa minggu setelah saya mengalami kedukaan karena ibu saya meninggal. Peristiwa tersebut kemudian menyadarkan saya bahwa, tidak semua orang itu punya kemampuan untuk menghadapi orang yang sedang menghadapi kedukaan atau peristiwa sedih, di dalam kasus ini, kehilangan orang yang dikasihi.
Menghadapi kedukaan
Sejujurnya, kita mungkin diperhadapkan pada momen-momen awkward saat kita menemani keluarga, sahabat atau teman kita di dalam masa-masa sulit. Hal ini berbanding kembali saat kita menghadiri acara ulang tahun, pesta perkawinan, suprise party atau acara-acara lain yang melibatkan canda dan tawa. Namun, saat awan gelap dan berkabut tahu-tahu menutupi suasana, kita menjadi bingung setengah mati, terutama permasalahan, "Gue harus ngomong apa?"
Pertama-tama, rasanya kita harus belajar memahami bahwa kebahagiaan itu expiry date-nya jauh lebih cepat dibandingkan kesedihan. Kita bisa merasakan kesedihan berhari-hari tetapi sebaliknya, kita jarang merasakan rasa bahagia berhari-hari, kesedihan itu adalah salah satu emosi yang mengendap cukup lama di dalam pikiran kita (termasuk juga alam bawah sadar), sementara rasa bahagia itu meluapnya cepat dan terkadang, hanya sekejap selayaknya sedang transit.
Pemahaman ini yang kemudian membuat kita sadar bahwa tidak usah terlalu banyak bicara saat bertemu dengan seseorang yang mengalami kesedihan atau kedukaan itu mungkin adalah cara yang paling tepat untuk membantu seseorang bergumul dengan rasa sedihnya atau peristiwa yang sedang dialami. Untuk kali ini, diam adalah emas adalah kunci.
Belajar mendengarkan
Hal yang saya nikmati saat saya menghadapi kesedihan atau kedukaan adalah kehadiran orang-orang terdekat saya dan mereka justru mendengarkan saya, dibandingkan saya yang mendengarkan mereka. Orang yang sedang sedih bisa dua outcome-nya. Pertama, cenderung untuk berbicara banyak hal dan menjadi reflektif atas peristiwa duka yang terjadi. Kedua, menjadi orang yang tertutup dan diam saja. Kita tentunya tidak dapat memaksa orang yang bersangkutan untuk berbicara, namun saat pembicaraan sudah terbuka maka kita hanya punya satu tugas: menjadi pendengar yang baik.
Mendengarkan ini adalah keahlian juga yang perlu dilatih dan termasuk bagian dari memiliki rasa empati. Saat seseorang mengalami kedukaan, hindari untuk menjadi guru dan memberikan petuah-petuah. Mengapa? Sangat mudah memberikan kata-kata motivasi kepada orang lain karena bukan kita yang mengalami peristiwa itu sendiri. Apabila kita bertukar posisi, berapa banyak dari kita yang lebih ingin didengarkan dibandingkan digurui? Ingat, it's easy to say but it's hard to do.
Pada akhirnya, berempati
Kehilangan seseorang yang disayangi itu adalah salah satu peristiwa hidup terbesar di dalam hidup manusia. Oleh karena itu, sebagai orang terdekat, kita perlu memahami cara-cara untuk membantu orang yang bersangkutan melalui masa-masa sulit semacam ini. Di sisi lain, ini adalah cara yang paling tepat untuk melatih empati yang kita miliki terhadap manusia lainnya.
Sederhananya, kita melakukan apa yang kita harapkan orang lain lakukan saat kita kehilangan seseorang yang kita kasihi. Belajar menempatkan diri di posisi orang yang menghadapi peristiwa duka adalah cara yang paling tepat untuk menghadapi perisitwa ini.
Badai memang pasti berlalu, dan sebagai orang terdekat, kita pun juga mau ambil bagian untuk membuat orang yang kita sayangi bisa melalui badai, yang lagi-lagi, tak bisa diprediksi kapan berakhirnya.
Selamat berkawan!
Lewi Aga Basoeki