![](https://static.wixstatic.com/media/8dad61_72a2b6b914e546c48c9b04d6361c24de~mv2_d_3024_3022_s_4_2.jpg/v1/fill/w_980,h_979,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/8dad61_72a2b6b914e546c48c9b04d6361c24de~mv2_d_3024_3022_s_4_2.jpg)
Why should we bother ourselves so much for something that we can't even control?
Sore ini sepulang kuliah, saya mencoba untuk berefleksi tentang sebuah permasalahan hidup, yang juga mungkin dialami oleh banyak dari rekan-rekan sekalian. Haha, masa-masa kuliah S2 memang adalah masa-masa yang tepat untuk berpikir soal diri sendiri, perasaan dan juga masa depan dan Leiden ini ternyata tempat yang tepat! I will get back to you on that point later.
Saya berjalan sambil bertanya kepada diri saya sendiri, "Kenapa gue masih peduli ya?" atau "Kenapa gue masih kepo dan penasaran?" Ini tidak hanya bicara soal percintaan tetapi banyak aspek di dalam hidup. Saya rasanya ingin membuka lebar tangan saya, memeluk hal-hal atau orang-orang yang sebenarnya sudah out of reach, namun sebenarnya sia-sia belaka.
Manusia itu punya kencederungan ingin menentukan nasib dan jalannya sendiri, yang kemudian stress lalu depresi. Coba, kapan sih terakhir kali kita susah tidur atau blingsatan ketika melihat mantan ternyata udah move on dan lagi jalan baru sama pacar barunya? Kapan juga terakhir kali kita protes atau marah-marah karena hasil akan suatu pekerjaan atau ujian tidak sesuai ekspektasi? Kita kayaknya langsung overthinking.
Contoh paling gampangnya? Saat mantan kita udah punya pacar baru, kita mulai grasak-grusuk dan entah memang ingin tahu atau mencari orang baru yang lebih "WOW" dibandingkan mantan kita ataupun pacarnya. Sewaktu mantan gebetan kita mulai posting instastory dengan orang baru, kita jadi kesal sendiri dan menyalahkan diri sendiri. Insecure dan mulai bertanya, "Apa sih yang salah sama gue?" Kita terluka padahal sebenarnya, LAH? Emang nggak jodoh dan memang udah jalan masing-masing, kenapa masih emosi Mbak?
Kalau yang nggak berhubungan sama cinta-cintaan apa? Saya sedang mengalami kesulitan untuk belajar mata kuliah tentang makroenomi, sebuah mata kuliah yang tidak pernah saya pelajari sebelumnya secara teori di S1. Saya belajar dengan rajin tetapi juga stress sendiri dan ketakutan sendiri untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Pertanyaan-pertanyaan bertema besar INSEKURITAS kemudian muncul di kepala saya misalnya, "Bagaimana jika rekan-rekan sekelas saya nilainya lebih tinggi dibandingkan saya?", "Bagaimana kalau ternyata soal ujiannya susah banget dan saya tidak lulus" atau "Bagaimana jika ternyata saya tidak lulus meskipun sudah belajar?"
Saya mulai mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya bukan domain saya dan saya tidak punya andil. Logikanya, memang kenapa kalau nilai teman-teman sekelas saya lebih bagus? Apakah kemudian saya menjadi orang yang paling bodoh di kelas? Jika soal ujian susah, pasti bukannya teman-teman sekelas mengalami hal yang sama? Nggak mungkin nggak lulus, toh saya paham bahwa kemampuan saya tidak rendah-rendah amat!
Saya bermain dengan pikiran saya sendiri dan diiringi dengan perasaaan insecure yang cukup tinggi, saya mencoba untuk stress atau kesal akan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa saya kontrol. Saya menjadi mudah gelisah dan marah, padahal seharusnya, chill aja bukan? Yang penting sudah belajar dan melakukan yang terbaik. Nggak usah terlalu diambil pusing untuk hal remeh-temeh.
Saya tidak bisa mengontrol segalanya karena memang bukan kewenangan saya, termasuk urusan perasaan orang lain. Yang bisa saya kontrol ada pikiran dan diri saya sendiri, bagaimana saya kemudian bisa memaksimalkan apa yang saya miliki sekarang untuk bisa menghasilkan hasil yang baik. Sama halnya dengan ketika tahu bahwa mantan ternyata sudah move on, yang bisa kita lakukan apa? Ya move on juga. Life goes on dan hidup gak berhenti begitu saja saat hubungan kita kandas di tengah jalan bukan? Hidup jalan terus dan kita yang nggak boleh jalan di tempat.
DOA dan DOAMAT, prinsip ini saya dapatkan dari sebuah posting di Instagram. Prinsip ini ternyata ada benarnya juga sih memang. Saya memang harus cenderung bodo amat dengan hal-hal yang sebenarnya di luar kontrol saya dan tidak bisa serta-merta emosi saat segala sesuatu berjalan di luar kendali saya. Kalau kejadian atau fakta itu justru tidak memiliki faktor besar terhadap kehidupan saya seterusnya, why should I bother?
Saya juga belajar untuk be present. Di dalam konteks ini adalah saya yang sedang berada di luar negeri, tidak bisa berbuat banyak untuk hal-hal yang terjadi di Indonesia. Apa yang terjadi dengan sahabat-sahabat saya misalnya, saat mereka putus cinta, ya saya tidak harus menyalahkan diri saya sendiri karena saya tidak ada di Jakarta dan mencegah mereka untuk tidak putus cinta. Kita tidak bertanggung jawab untuk hal-hal yang berada di luar kendali kita, termasuk urusan perasaan. Sebelum saya pindah ke sini, untungnya sahabat-sahabat saya semuanya bilang, "We will be fine, Ga. You have fun there!" Maklum, saya orangnya suka take responsibilities for something that even is not on my plate, sebuah kecenderungan yang salah.
Prinsip be present ini sukses membuat saya kemudian menikmati apa yang sekarang saya rasakan dimulai dari perasaan, lingkungan, kuliah dan beragam hal yang saya dapatkan sekarang ini. Saya tidak grasak-grusuk ingin tahu apa yang terjadi di luar jangkauan saya. Chill aja Beb dan be present, buat saya ini penting.
Selamat berakhir pekan dan salam dari Leiden!
Lewi Aga Basoeki