top of page

05: Pemain Cadangan



Kita semua pernah merasakan yang namanya menjadi "pemain cadangan" di dalam hidup orang, entah itu di dalam konteks persahabatan atau percintaan. Sederhananya, pernah nggak sih mengalami yang namanya "dicariin kalau lagi ada butuhnya" semacam barang komplementer kalau kita belajar soal jenis-jenis barang di pelajaran ekonomi dahulu kala.


Menjadi Cadangan

Saya merenungkan sendiri pengalaman ini ketika bercakap-cakap dengan beberapa orang yang berbagi pengalamannya soal hal ini. Ternyata memang, ada orang-orang yang, sengaja atau tidak, menjadikan seseorang sebagai pemain cadangan di dalam hidup orang yang bersangkutan. Contoh gampangnya adalah saat ada sahabat dekat kita yang sudah lama jomblo dan terkesan menjadi jobadi (jomblo abadi) kemudian memiliki pasangan, apakah sahabat dekat kita tersebut akan menghubungi kita seakrab sebelum dia memiliki pasangan? Atau justru malah dia menghilang tanpa jejak?


Kisah yang lebih tragis lagi adalah saat kita merasa bahwa ada seseorang yang menyukai dan PDKT dengan kita, kemudian orang tersebut mundur teratur dan ternyata, ia langsung jadian dengan orang lain. Kita hanya dijadikan pengisi waktu luang di saat sedang merasa kesepian saja.


Ingin rasanya marah dan meracau dalam bahasa Swahili nggak sih, Mbak?


Rasanya pengalaman semacam ini tidak hanya dialami oleh satu atau dua orang saja tetapi mayoritas dari pembaca yang budiman. Kita menjadi turun derajat dan tak lagi menjadi prioritas di dalam hidup orang lain, kali ini, konteksnya adalah persahabatan.


Prioritas

Hidup ini penuh dengan skala prioritas, termasuk juga ketika kita berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Saat dikembalikan lagi kepada orang-orang yang menjadikan kita sebagai pemain cadangan di dalam hidup mereka, mungkin memang, prioritas hidup mereka berubah dan bukankah hal tersebut adalah sah-sah saja?


Salah satu sahabat saya berujar, "Yaelah, Ga. Orangnya sih nggak berubah, masih sama karakternya, tapi prioritasnya aja yang berubah. Dulu dia bisa masih sama lo dan mencari lo terus karena memang dia nggak punya pacar." Jawaban yang menurut saya, it does make sense.


Tidak semua orang bisa dengan mudahnya menempatkan semua orang di hidupnya sebagai pemain utama. Tidak semua orang bisa mengatur hidupnya dengan membagi 24 jam di dalam hidupnya untuk bisa berkomunikasi dengan semua teman dan sahabat di ring 1, ring 2 sampai ring 10-nya dan juga menjalani kehidupan pacaran yang luar biasa romantis dan intens.


Sulit rasanya buat beberapa orang yang sudah memiliki pacar untuk kemudian masih punya waktu haha-hihi dengan sahabat-sahabatnya, apalagi untuk beberapa orang yang sudah lama tak memiliki pacar dan kemudian saat "yang ditunggu-tunggu datang juga", pasti ingin memaksimalkan periode pacaran yang ada.


Prioritas bermain dan bercengkrama dengan sahabat lantas tergeser menjadi: naracap terus (alias pacaran terus) .


Mau gimana?

Kita, saya dan you semua, mungkin termasuk yang lupa bahwa menjadikan seseorang untuk duduk berlama-lama di kursi cadangan itu tidak enak. Kita itu sebenarnya punya kemampuan namun tidak dipergunakan dan hanya bisa menonton saja pemain utamanya berada di lapangan. Kalimat-kalimat seperti, "Kalau susah, baru aja nyari gue!" atau "Kalau lagi berantem sama pacar, baru gue dicariin dan diajak ketemuan!" adalah kalimat-kalimat yang wajar dikeluarkan saat lagi curhat soal si Anu yang kayaknya lagi happy banget di Instastory sama pacar barunya.


Akibatnya, hubungan yang selama ini telah dibangun menjadi berkurang persentase keakraban dan kedekatannya, semacam interaksi di dalam karakter-karakter di dalam The Sims. Di kala dulu masih bisa bercerita berbagai macam hal dalam semalam sembari wine-wine solution, mendadak berada di dalam momen kekakuan yang luar biasa saat berdua saja gara-gara sudah lama tak bersua. Awkward situation, duh?!


Pertanyaan sederhananya, kalau misalkan sahabat yang hilang itu kemudian datang kembali untuk kemudian merajut tali kasih yang selama ini terputus, apa yang menjadi reaksi kita?


Mayoritas dari netizen mungkin akan menganggap bahwa adalah sesuatu hal yang sia-sia untuk kembali melanjutkan persahabatan, apalagi kalau karakter yang demikian pun selalu terulang setiap kali. Hanya beberapa orang yang memutuskan untuk kembali masuk ke dalam hidup orang tersebut dan memperlakukannya sebagai sahabat, seakan tidak terjadi apa-apa.


Kalau dipikir-pikir ya, ini kembali tujuan sahabatan atau temenan itu apa sebenarnya. Kalau memang we do really treasure someone as our best friend, bukankah seharusnya, kita menerima seluruh keberadaan sahabat kita itu secara utuh, tanpa syarat? Sama seperti ketika kita memutuskan untuk jatuh cinta dengan seseorang.


Saat mengetahui bahwa ternyata sahabat kita itu punya kecenderungan untuk "missing in action", saya lantas berpikir kenapa kita harus terlalu pusing memikirkan bahwa kita bukanlah prioritas utama? Setiap orang berhak menentukan prioritasnya masing-masing dan prinsipnya nggak usah sewot, toh kita pun, sadar ataupun tidak, juga melakukannya terhadap orang lain atau bagian hidup kita yang lain. Harusnya; santai saja.


Wajar sih

Merupakan hal yang wajar kalau kita merasa "kok dia gitu sih?", namun di sisi lainnya, peristiwa "dicadangkan" ini menjadi salah satu litmus test untuk suatu persahabatan. Apakah memang sahabat kita itu benar-benar sahabat sampai akhir hayat dan sebaliknya, apakah kita justru tetap memperlakukan sahabat kita itu sebagai sahabat, tanpa memandang hobinya yang suka "missing in action".


Relasi antara dua manusia itu memang diuji oleh berbagai macam hal, termasuk untuk urusan "menjadi pemain cadangan" seperti ini. Tidak semua orang memang suka diturunkan prioritasnya di dalam hidup orang lain dan sebaliknya, tidak semua orang pula bisa memprioritaskan semua orang di dalam hidupnya karena waktu itu terbatas.


Adalah tidak sulit rasanya untuk kembali mengulurkan tangan atau sekadar mengirimkan pesan Whatsapp untuk bertanya kabar dan berujar, "Ngopi yuk!", yang sulit itu memang memadamkan ego yang terbakar kekecewaan karena hanya menjadi cadangan di dalam hidup orang lain. Padahal, setiap orang itu ada bagian masing-masing di dalam hidup orang lain, tidak melulu menjadi pemeran utama.

Namun, masalahnya, saat ekspektasi kita sudah terlalu tinggi untuk menjadi pemeran utama, kita yang harus belajar berdamai dengan kenyataan semacam ini.


Selamat hari Jumat!




Related Posts

See All
bottom of page