
Apakah mencintai seseorang itu perlu dikalkulasi?
"Gue berharap sih kalau gue udah kasih sekian persen perasaan gue sama dia, dia paling enggak juga ngasih sekian persen yang paling enggak sama dengan perasaan gue lah!" Saya terhenyak saat mendengarkan orang ini berbicara sedemikian gamblangnya di hadapan saya. Otak saya berusaha memproses ini semua dengan perlahan, mencoba mencari letak dimana saya menyimpan pemahaman saya tentang mencintai orang lain.
Saya pun menjadi mengevaluasi diri saya sendiri dan lagi-lagi, saya sepertinya pernah menulis tentang topik semacam ini di blog lama saya. Bagaimana kita mencintai seseorang yang seharusnya tanpa syarat. Beberapa dari kita mungkin berpendapat bahwa hati dan perasaan harus diproteksi sedemikian rupa sehingga kalau kecewa maka tidak sakit-sakit amat atau saat dicampakkan maka istilah "rugi bandar" tidak akan pernah terlontar. Usaha kita memang hanya sedemikian persen untuk, jangankan mencintai, menyukai orang tersebut di tahap pendahuluan.
Bukankah kalau suka atau cinta, ya suka atau cinta saja? Tidak perlu ditambah prasyarat ini dan itu yang menahan kita untuk bisa menunjukkan bahwa kita suka atau cinta dengan orang tersebut? Mengapa ada ganjalan dalam hati yang membuat perasaan kita itu tidak seratus persen?
Menyukai atau mencintai orang lain bagaikan tindakan yang kita lakukan di pasar, berhitung sedemikian rupa agar kita tidak rugi-rugi amat di dalam menaburkan perasaan. Saya bingung.
Saat saya sudah mulai hitung-hitungan untuk ukuran perasaan, saya merasa menjadi orang yang egois (meski kata beberapa orang, menjadi egois sesekali itu perlu). Saya hanya mau dipuaskan rasa bahagianya tanpa berusaha untuk membahagiakan orang lain.
Rasanya, ada yang salah kalau kita mulai hitung-hitungan untuk urusan perasaan.
Bukan begitu?
Lewi Aga Basoeki