
Ada kalanya kita menyatakan cinta, ada kalanya juga kita berkata "Aku tak suka."
Sosok itu menatap saya nanar, ada air mata yang siap memercik membasahi pipinya. Tak ada sepatah kata yang terucap dan saya pun hanya menghela napas. Ternyata, menyatakan rasa tidak suka itu sedemikian sulitnya.
Kita pasti pernah menyatakan rasa suka atau cinta namun, pernahkah berpikir bahwa menolak seseorang itu ternyata jauh lebih sulit dari apa yang dibayangkan? Apa jadinya ketika ada seseorang yang selama ini dekat dengan kita, punya perasaan sayang dan suka lebih dari sekadar teman kemudian mengungkapkan perasaannya? Bingung? Oh pasti!
Saya memulai dengan premis bahwa rasa suka itu tidak bisa dipaksa. Hati akan suka dan jatuh dengan sendirinya, sialnya, kita yang seringkali tak sabaran. Matilah rasanya saat ada orang yang menyatakan perasaannya, saat hati kita justru tidak siap atau sejak awal memang belum suka. Apa balasannya?
Beberapa dari kita mungkin berkata bahwa, "Ya udah, emang gue juga gak suka, lalu gimana? Mau dipaksa?" atau "Ntar juga move on dengan sendirinya. Santai aja!" Kalimat-kalimat justifikasi yang diucapkan oleh diri kita sendiri (atau mungkin orang lain) saat mengetahui bahwa orang yang ditolak itu ternyata perasaannya tersakiti, baper, dan galau setengah mati.
Apa yang sebenarnya kita bisa lakukan?
Sebelum berkata tidak, saya sering bertanya kepada diri saya sendiri tentang apa yang saya rasakan terhadap orang tersebut. Apakah saya hanya menganggap dia sebagai teman, sahabat ataukah seseorang yang saya harapkan sebagai pacar. Kita sebenarnya bisa dengan mudah menebak apa yang orang lain rasakan kepada kita, namun terkadang kita tidak sensitif atau justru denial. Saya pun mengakui bahwa saya sukar membedakan mana yang benar-benar suka, mana yang berharap lebih ingin menjadi pacar, dan mana yang memang hanya ingin bermain saja. Bisa saja sebenarnya, kita yang justru mengeraskan hati untuk jatuh cinta.
Butuh keberanian ekstra untuk mengatakan, "Aku suka kamu." Dan jahat sekali rasanya ketika kita tidak mendengarkannya terlebih dahulu dan langsung berkata, "Tidak." Saya adalah salah seorang yang merasa malu-malu untuk mengungkapkan perasaan, apalagi ketika tahu bahwa orang yang bersangkutan tidak ada tanda-tanda juga suka dengan saya. Semua orang takut merasa tertolak. Ini alasan dasarnya mengapa mengutarakan perasaan menjadi sedemikian sulit dan menantang bagi beberapa orang.
Saat perasaan yang tertawan itu kemudian dilepaskan sedemikian rupa, kemudian ditolak dengan mentah-mentah, bagaimana rasanya? Tidak perlu dijawab sepertinya.
Saya, seseorang yang sering mengalami penolakan, berusaha memahami apa yang sebenarnya bisa saya lakukan untuk meringankan perasaan sakit yang dialami. Menolak dengan mengulurkan tangan itu rasanya jauh lebih baik ketimbang berkata tidak lalu kemudian pergi menghilang. Beberapa orang memang memilih untuk burn the bridge, tetapi bagi saya justru kita bisa menjadi pelajaran kepada seseorang untuk bisa let go dan berdamai dengan diri sendiri. Kita pun bukankah belajar bahwa sebenarnya yang dinamakan perasaan suka itu tidak selamanya bersifat timbal balik?
Ketika kita membuat "patah hati" orang lain, sesungguhnya kita menjadi pelajaran berharga bagi orang lain, yang mana pelajaran itu adalah pelajaran yang pahit. Kita tidak akan pernah dilupakan begitu saja karena kita menorehkan luka mendalam di dalam kisah percintaan orang yang bersangkutan. Pilihannya? Apakah kita menjadi seseorang yang menolak dengan cara yang manusiawi alias humanis, atau menolak dengan cara Afgan,
... terlalu sadis caramu ...