Ketika meninggal pun kita akan meninggalkan impresi.
Di hari Sabtu siang yang ceria ini saya mencoba berpikir tentang apa yang akan orang lain rasakan ketika saya sudah meninggal. Apakah saya akan meninggalkan impresi sebagai seorang Lewi Aga Basoeki yang baik hati, Lewi Aga Basoeki yang suka menyebarkan berita-berita hoax, Lewi Aga Basoeki yang gemar berdebat di media sosial atau Lewi Aga Basoeki yang justru tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya? Saya sungguh takut ketika banyak orang yang justru bersyukur setengah mati saat saya sudah tiada, seolah beban hidup mereka berkurang. Kalau di dalam konteks sekarang adalah banyak orang justru bersyukur saat tidak ada postingan status di sosial media yang isinya penuh dengan negativisme.
Saya sering lupa bahwa sebenarnya hidup di dunia ini hanya sementara dan ketika saya berpulang pun, saya akan meninggalkan impresi kepada orang-orang yang saya tinggalkan, baik yang suka sama saya atau tidak suka sama saya. Pertanyaan berikutnya, lebih banyak yang suka atau lebih banyak yang tidak suka? Ini pertanyaan yang sungguh sulit.
Saya berpikir bahwa lebih mudah menjadi orang yang dibenci dibandingkan menjadi orang yang disukai. Saya bisa dengan mudah dibenci oleh banyak orang dengan menjadi pribadi yang egois, diskriminatif, intoleran, keras kepala atau merasa benar terhadap pendapat dan perspektif diri sendiri. Berapa banyak sih kita yang berhadapan dengan orang-orang semacam ini di dalam kehidupan sehari-hari, entah di dunia maya atau di dunia nyata? Banyak? Banyak!
Itulah mungkin kenapa sepertinya, surga itu sifatnya limited seats, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk surga. Kalau pendapat yang terakhir ini hanya bahan bercanda saja, tanpa bermaksud untuk serius.
You cannot please everyone
Saya sungguh paham bahwa kita tidak bisa membahagiakan orang lain dengan apa yang kita lakukan. Kita tidak bisa memuaskan hasrat semua orang dan membuat semua orang bahagia. Namun, we can be nice with everyone. Kita bisa bersikap baik dan netral kepada orang-orang di sekitar kita, bahkan sama yang jahat sekalipun dan ini sesungguhnya adalah pilihan.
Rasa-rasanya pun tidak banyak orang yang memilih untuk menjadi being nice ini karena mungkin punya prinsip "yabodoamat, emangguepikirin?" ketika berteman atau berinteraksi dengan banyak orang. Prinsip ini tidak bisa dinafikan begitu saja karena mengingat pada dasarnya kita adalah makhluk yang egois dan punya kemampuan bertahan hidup, termasuk untuk urusan bertahan hidup dari serangan-serangan perasaan kebenciaan yang bertubi-tubi. Lebih baik kita tidak bersikap baik dibandingkan harus disakiti terus menerus. Bukan begitu?
Kita malas menjadi orang yang lebih humanis atau orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan. Bukankah dengan menjadi orang yang bersikap baik akan membuat hidup ini menjadi lebih gampang untuk dijalani atau memang tidak juga? Pada akhirnya pun, saat kita telah tiada, kita justru akan dikenang sebagai orang yang baik dan humanis.
Selamat menjadi orang yang humanis sebelum berpulang!