
"It's easy to find a guy, however, it's hard to find love."
Saya terdiam saat membaca sebuah pesan yang saya dapatkan dari salah seorang teman melalui sebuah sosial media. Pesan yang membuat saya berpikir lebih lebih jauh tentang begitu sulitnya mencari cinta di era yang serba instan ini.
Dari Tinder Turun ke Hati
Tidak dapat dipungkiri kalau menemukan pacar, pasangan atau bisa saja one-night-stand adalah hal yang sebenarnya sangat mudah di zaman sekarang ini, apalagi di kota besar. Dengan hanya berbekal sosial media, kita bisa sibuk swipe kanan atau kiri di pojokan sebuah kedai kopi dan mulai melakukan seleksi terhadap tipe pasangan yang diharapkan. Kita memiliki ide dan bayangan tersendiri tentang sosok seorang pasangan yang kemudian diejawantahkan melalui pencarian kita di sosial media.
Bandingkan dengan apa yang terjadi lima tahun lalu, saat situs kencan atau perjodohan bukan menjadi hal yang diminati oleh sebagian besar anak muda. Semenjak bermunculan aplikasi-aplikasi kencan yang dapat diunduh dengan mudahnya, pencarian cinta pun tampak seolah menjadi lebih mudah. Namun, apakah benar demikian?
Berapa banyak di antara kita yang lompat dari satu kencan ke kencan lainnya? Rasanya tidak sedikit orang yang terjebak di dalam pencarian pasangan yang seolah tak berujung dengan cara menyibukkan diri di dalam satu komunitas sebelum akhirnya berpindah ke komunitas lain karena tidak menemukan "cinta" yang ia cari. Di dalam beberapa kasus, pergi ke luar setiap minggu untuk bertemu dengan orang baru dengan harapan sederhana, bisa mengisi bagian di dalam diri.
Apa yang dilihat di profile Tinder diharapkan bisa mengisi relung hati, bukankah demikian?
Kencan? Saya mencoba untuk berkaca kepada diri saya sendiri, sudah berapa banyak saya bertemu dengan teman kencan atau apa yang di-framing sebagai "teman baru" dan berapa banyak yang kemudian berakhir begitu saja tanpa makna, yang kemudian menjadi teman, yang berakhir sebagai pacar atau yang hanya buang-buang waktu saja. Sejauh ini, hanya dua yang kemudian hanya sebatas teman dekat, satu yang kemudian berakhir menjadi pacar (meskipun akhirnya sih putus juga) dan sisanya berlalu begitu saja alias tidak pernah saling menyapa lagi.
Di sebuah makan malam dengan seorang teman kencan, saya ditertawakan ketika saya tidak menganggap makan malam tersebut adalah sebuah kencan meski pada akhirnya saya meralatnya. Sepulang dari "kencan" pertama tersebut saya malah jadi bertanya-tanya tentang apa makna sebenarnya dari "kencan", apakah melulu harus berhubungan cinta-cintaan, rasa suka dan kemudian selalu berakhir dengan eksaminasi bahwa orang ini cukup prospektif untuk dijadikan pacar atau tidak.
Ketika saya melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi "kencan" ternyata lebih dari sekadar urusan cinta-cintaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan "kencan"sebagai janji untuk saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang ditentukan bersama (antara teman, muda-mudi, kekasih). Definisi yang tidak melulu soal cinta dan rasa suka, karena teman pun bisa berkencan!
Ini mungkin sebabnya kalau saya tidak selalu menganggap serius atau cenderung berdesir ketika diajak "kencan" pertama. Saya belajar dari pengalaman-pengalaman saya sebelumnya bahwa ekspektasi yang terlalu tinggi itu akan menyakitkan saat tidak tercapai. Saya pun kemudian tidak berusaha untuk melakukan framing terhadap apa yang disebut dengan kencan.
Kita acapkali lupa bahwa rasa suka atau cinta tidak ditentukan dari apa yang disebut dengan "kencan". Harapan sudah disauh sedemikian jauhnya untuk keinginan mencari cinta padahal sebenarnya cinta tidak bisa didapatkan dengan sedemikian kilat sama seperti swipe kanan atau swipe kiri. Merupakan hal yang mudah untuk mencari teman kencan tetapi untuk mencari cinta, bukankah butuh waktu dan proses?
Sayangnya, kita yang sering tidak sabaran. Kita terlalu cepat mengambil keputusan dan saat keputusan itu diambil namun pihak yang di seberang sana belum siap, ada kekecewaan atas harapan yang dilambungkan tinggi yang siap menghujam hati sampai sebegitu sakitnya.
Selamat hari Selasa!