Apa mungkin kita tidak membiarkan waktu untuk berbicara dan membuat kita terjatuh dengan sendirinya?
Saya sedang tidak galau. Kalimat ini harus ditulis di awal untuk menunjukkan bahwa apa yang saya tulis di blog ini bukanlah suatu curahan hati atau kisah baperan. Saya menulis ini karena topik ini menarik untuk dibahas, terlebih lagi untuk generasi muda-mudi seperti saya dan kamu.
Teori Eror 1
Di dalam tes hipotesis statistika, ada sebuah teori yang menurut saya menarik yaitu teori eror 1 yang di dalam bahasa Inggris berbunyi demikian:
"A type I error occurs when the null hypothesis (H0) is true, but is rejected. It is asserting something that is absent, a false hit. A type I error may be likened to a so-called false positive (a result that indicates that a given condition is present when it actually is not present).
A type I error is a false positive, thinking that an effect is there, when it is not. For example, acting on a fire alarm that turns out to be false. When someone infers sexual interest, where there is none, then a false-positive error has occurred."
Teori ini pun juga dipergunakan di dalam behavioural science. Kalau dihubungan dengan percintaan, ada yang dinamakan sexual overperception. Kita mengira bahwa orang itu suka dengan kita tetapi ternyata tidak, ini banyak terjadi kepada cowok-cowok, yang selalu mengira bahwa cewek yang dia kejar ternyata suka sama dia namun ternyata tidak. Kita membuat hipotesis yang sejak awal itu salah dan bias.
Teori eror 1 ini buat saya menarik. Kenapa? Karena bukankah setiap hari kita berhadapan dengan pengambilan keputusan yang berdasarkan suatu hipotesis atau di dalam kasus beberapa orang, intuisi? Kita mengira-ngira bahwa keputusan yang saya ambil ini adalah keputusan yang benar dan ketika yang diputuskan itu ternyata salah dan melenceng dari harapan maka kita cenderung untuk berkata, "Yah, coba kalo gue mengambil keputusan yang berbeda!"
Penyesalan memang selalu datang terlambat karena kalau datang pertama kali namanya adalah pendaftaran.
Take me out, NO?
Karena takut akan melakukan kesalahan bahwa akan mendapatkan hasil yang tidak sesuai yang diharapkan, beberapa orang secara ketat menerapkan daftar pertanyaan serta kualifikasi. Daftar ini diharapkan membuat kita menjadi tidak bias mengambil keputusan dan adalah benteng pertahanan saat "serangan lawan" atau pertanda itu diluncurkan oleh "sang lawan". Harapannya? Kita tidak lebih mudah jatuh di dalam pelukan atau sebaliknya, mudah dibuai oleh manipulasi perasaan.
Kriteria itu membuat kita menjadi sedemikian logis dan menafikan perasaan yang menunggu untuk disemai. Dari satu kencan ke kencan lainnya, kita melakukan seleksi, mencoba untuk melindungi hati agar tidak mengambil keputusan yang salah di kemudian hari.
Apa yang kita lakukan itu tidak salah juga.
Kita membangun tembok pembatas bernama kriteria.
Ada orang-orang tertentu yang kriterianya hanya fisik semata, ada juga yang kriterianya berdasarkan latar belakang keluarga, dan ada yang kriterianya lebih mengutamakan intelektualitas. Kriteria-kriteria tersebut bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu, bergantung kepada emosi yang sedang kita hadapi, prioritas kebutuhan, dan juga seberapa banyak kita bertemu dengan banyak orang. Kita belajar dari kencan demi kencan, tentang apa yang disebut dengan preferensi, mana yang bisa diterima dan mana yang jelas-jelas tidak bisa diterima.
Kita menerapkan standar yang sedemikian tinggi dan berhati-hati. Oleh karena itu ada isitilah "Hati-hati dengan hati", yang memang ada benarnya.
Namun, sama seperti pertanyaan di atas, kadangkala kita tidak membiarkan waktu yang berbicara dan berdansa dengan kriterianya tersendiri. Kita, makhluk yang terlalu cepat merentang jarak, lebih memilih untuk takluk kepada ego ketimbang memulai hikayat percintaan yang baru.
Ah sudahlah, selamat hari kasih sayang, hati!