Saya terdiam sejenak saat membaca kalimat tersebut di halaman Facebook teman saya dan saya langsung teringat apa kata orang tua saya dulu, "Jangan kamu bergaul sama yang nggak bener, nanti jadi ikut-ikutan nggak bener."
Kalau ingin ditafsirkan menjadi lebih sempit, sebaiknya saya harus bergaul dengan yang imannya sama dan idealnya, saya bergaul dengan orang-orang yang melakukan ajaran imannya dengan baik, mempraktikkan ajaran imannya tersebut dengan sempurna, termasuk juga ke rumah ibadah yang kalau bisa setiap hari bisa dilakukan.
Tetapi, apakah hal itu mungkin?
Saya mencoba untuk merefleksikan ini di dalam pemahaman iman saya secara keseharian. Apakah iman saya kemudian membuat saya menutup diri dari kehidupan orang-orang yang jumlahnya miliaran di muka bumi ini? Apakah ada segregasi kehidupan saya dengan kehidupan mereka semuanya yang membuat saya tidak bisa bergaul dengan mereka? Eksklusivitas keimanan seperti ini bukankah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang penting saat kita beriman? Saya memisahkan diri dari lingkungan saya yang tidak beriman.
Saya tidak boleh banyak-banyak berteman atau termasuk juga bergaul di sosial media dengan orang-orang yang tidak seiman dengan saya karena takut iman saya terganggu. Saya menarik diri dari konteks kehidupan masyarakat secara umum dan mengenakan pakaian iman saya, untuk kemudian bersama-sama dengan orang yang kadar imannya menurut saya pun paling tidak sama atau lebih tinggi dari saya, menanti-nantikan apa yang dinamakan akhir zaman.
Kehidupan beriman seperti ini yang membuat saya bertanya-tanya. Apakah hal ini adalah sesuatu yang benar? Orang saleh seharusnya bergaul dengan orang saleh dan tidak sepatutnya bergaul dengan orang fasik karena nanti takut orang saleh tersebut akan berubah menjadi orang fasik. Kesalehan dan keimanan kemudian menjadi sesuatu yang mudah berubah dan dipengaruhi, apakah benar demikian?
Saya yakin bahwa iman tidaklah seharusnya mengkotak-kotakkan manusia. Ini golongan yang layak dan ini adalah golongan yang tidak layak. Iman yang humanis dan inklusif. Iman yang melakukan transformasi kepada kehidupan dan bukan menjauhkan diri dari kehidupan itu sendiri.
Karena kalau iman membuat kita seakan lebih baik dan layak masuk surga ketimbang orang-orang yang menurut kita tidak sesuai dengan kadar keimanan kita, itu bukan beriman namanya, itu egois.
Selamat Hari Minggu!