Rumah adalah pusat dari gravitasi kehidupan.
Mobil yang membawa saya dari Buntoi, nama sebuah desa yang tak pernah saya pelajari sebelumnya di, melaju cepat dari Palangka Raya, mengejar waktu dan momen untuk bisa menikmati suasana khas desa di tengah Kalimantan. Saya melihat jam tangan saya dan waktu masih menunjukkan Pkl. 09.37, saya masih punya cukup waktu untuk menjelajahi desa yang letaknya persis di pinggir Sungai Kahayan sebelum saya kembali ke Bandara Udara Tjilik Riwut di sore hari.
Saya mengambil kamera saya sebelum turun dari mobil yang parkir tepat di sebuah dermaga kecil. Sebuah rumah panggung besar berwarna cokelat gelap langsung menyita perhatian saya. Atapnya berkilauan, memantulkan cahaya matahari Kalimantan yang terik.
"Sudah sampai, Pak," begitu kata Pak Yonathan, pemandu lokal yang membawa saya ke tempat sejauh ini. Saya tersenyum dan kisah tentang rumah besar ini pun baru saja dimulai.
Rumah Sang Kepala Desa
Setiap orang selalu rindu untuk pulang ke sebuah tempat yang disebutnya sebagai rumah. Perasaan yang selalu menggebu setelah bekerja, bermain atau di dalam konteks masyarakat suku Dayak, pergi berladang dan berkelana ke pelosok hutan.
Saya melemparkan pandangan saya kepada rumah besar yang bentuknya memanjang, sejajar dengan Sungai Kahayan, sahabat karib rumah ini sejak tahun 1870 Masehi. "Orang Dayak selalu membangun rumah sejajar dengan aliran sungai, Pak," ujar Pak Yonathan seraya menaiki hejot, sebuah tangga kecil yang curam dan terletak di depan pintu rumah. Saya mengangguk pelan, mengikuti langkah Pak Yonathan sambil memegang anak tangga satu per satu, mencoba menyeimbangkan badan saya saat naik ke atas.
Sebuah gambaran kehidupan masyarakat suku Dayak Ngaju langsung terlintas di benak saya. Rumah yang berusia ratusan tahun ini tetap berdiri tegak dengan tiang utama yang konon kabarnya didirikan di atas kepala kerbau yang dikorbankan (meskipun beberapa orang percaya, kepala manusia yang ada di bawahnya). Seorang nenek sang penghuni rumah menyambut saya begitu saya sampai di depan pintu rumah, beliau berkata-kata di dalam bahasa Dayak Ngaju dan tak lama kemudian, cucunya yang masih kuliah keluar dari dalam rumah. Sang cucu yang membawa saya berkeliling rumah, menunjukkan setiap sudut rumah dan menjelaskannya dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa Dayak Ngaju.
Rumah ini adalah versi lebih kecil dari rumah Betang dan dinamakan huma gantung, rumah Betang yang didirikan untuk tempat tinggal kepala dusun. Rumah ini adalah satu-satunya rumah Betang berjenis huma gantung yang masih berdiri di Kalimantan Tengah saat ini.
Salah satu hal yang menarik dari rumah ini adalah pembangunannya yang tak menggunakan paku alias knock-down. "Beberapa rumah Betang dibangun dengan bantuan orang-orang Banjar, Pak." ungkap Pak Yonathan seraya mempersilahkan saya untuk menuju area lain dari rumah ini. Pengaruh suku Banjar tampak nyata di daun pintu atau ukiran jendela rumah ketika kita melihat rumah Betang yang berjenis lain yaitu rumah Karak Betang, sebuah rumah Betang versi lebih kecil lagi karena hanya membuat satu keluarga yang berdiri karena kebijakan politik Belanda pada saat itu.
Rumah Karak Betang
Pengaruh kebijakan politik Belanda juga menarik untuk disimak. Suku Dayak menganggap rumah Betang sebagai pusat kehidupan, tempat dimana mereka bisa berkumpul secara bersama-sama, di dalam suatu keluarga besar. Tidak heran kalau di masa lampau, satu rumah Betang yang megah bisa diisi lebih dari 50 keluarga. Kebersamaan ini yang membuat Belanda merasa bahwa keberadaan rumah Betang yang bisa menampung banyak orang ini makin menyulitkan penaklukan terhadap orang-orang Dayak dan munculah kebijakan politik di bidang kesehatan dan salah satunya dengan membangun rumah Karak Betang, sebuah rumah Betang versi lebih kecil yang dihuni oleh satu keluarga.
Kalau berjalan di beberapa desa yang terletak di Kalimantan Tengah, kita dapat menemukan rumah Karak Betang yang berusia ratusan tahun masih berdiri tegak namun mulai lapuk di jalan-jalan desa. Rumah ini arsitekturnya mirip rumah Anno, rumah yang banyak kita lihat di daerah-daerah yang didiami oleh suku Banjar yang di atapnya selalu ada tulisan tahun pendirian rumah tersebut atau di dalam bahasa latin disebut Anno. Bukan suatu kebetulan terdapat kemiripan arsitektur karena pembangunan beberapa rumah Karak Betang dilakukan oleh orang-orang dari suku Banjar yang merantau.
Belanga
"Ini apa?" tanya saya ingin tahu kepada beberapa belanga atau guci yang berada di pojok ruangan berlantai kayu ulin. Sang cucu penghuni rumah menjawab, "Ini guci peninggalan nenek moyang." Saya mengangguk, berusaha untuk paham.
Guci dari Tiongkok adalah salah satu hal yang dengan mudah dapat ditemukan di rumah-rumah suku Dayak. Keberadaan guci ini menegaskan bagaimana hubungan yang terjadi antara suku Dayak dengan para penakluk samudra dari dataran China. Namun, suku Dayak percaya bahwa guci (yang di dalam bahasa aslinya disebut tajau) dibuat dari bahan-bahan surgawi. Guci ini berisi sesajen atau benda-benda keramat, bahkan di beberapa tempat, berisi tulang-belulang manusia. Tidak banyak lagi kita bisa menemukan rumah-rumah tradisional di Kalimantan yang masih menyimpan guci-guci ini.
Beberapa rumah Betang yang masih ada pun sudah tak lagi menyimpan barang-barang pusaka ataupun perabotan rumah tangga yang dimiliki oleh penghuni rumah awal. Hal ini dikarenakan beberapa perabotan tersebut sudah diwariskan kepada keturunan dan dipindahkan dari rumah Betang. Inilah yang membuat kita tidak bisa mengunjungi sebuah rumah Betang yang memiliki perabotan rumah tangga yang secara utuh dan rumah Betang di Buntoi ini sepertinya salah satu rumah Betang yang cukup lengkap perabotannya.
Siang mulai beranjak petang saat saya menyelesaikan rasa penasaran saya atas arsitektur rumah Betang berjenis huma gantung yang setia ditemani oleh sungai Kahayan yang mengalir deras di depannya. Sebelum saya masuk ke dalam mobil yang akan membawa saya pulang, saya memandang sebuah sandung, sebuah rumah-rumahan terbuat dari kayu ulin yang berdiri tegak di depan rumah Betang ini. Bulu kuduk saya sedikit berdiri saat memandang sandung warna-warni ini, bukan karena ada unsur mistis, namun saya terkesima akan filosofi di balik pendiriannya.
Sandung ini mungkin lebih mirip rumah abu di dalam filosofi China, tempat meletakkan abu jenazah atau di dalam konteks masyarakat suku Dayak, tulang-belulang pemilik rumah. Letak sandung ini selalu di pekarangan rumah, seolah sang pemilik akan selalu berada di sana, pun sampai ia sudah pergi ke dunia yang berbeda.
Mobil yang membawa saya kembali ke Palangka Raya mulai melaju perlahan, meninggalkan desa Buntoi dan rumah Betang yang berjaya di masanya mulai menghilang dari pandangan. Setiap rumah memang punya kisahnya tersendiri.
Selamat menjelajah!