Masih ingat dengan epos Ramayana?
Salah satu bagiannya bercerita tentang kehadiran seorang raksasa bernama Rahwana atau yang dijuluki sebagai Prabu Dhasamuka, penguasa Kerajaan Alengka dan peperangannya dengan Sri Rama dan Hanoman karena memperebutkan Dewi Sita. Kisah ini menjadi menarik karena Rahwana adalah raja dari sebuah kerajaaan yang letaknya di sebuah pulau yang terpisah dari India saat itu dan terhubung oleh jembatan Situbanda, Kerajaan Alengka. Ibukota kerajaan ini konon kabarnya habis dibakar oleh Hanoman yang diutus Sri Rama untuk melihat keadaan Dewi Sita. Kisah Ramayana juga mengisahkan kalau penduduk Kerajaan Alengka ini jahat, sejahat Rahwana yang punya sepuluh wajah dan perangai tinggi besar bak raksasa.
Lalu, apakah Kerajaan Alengka yang pernah dibakar habis oleh Hanoman tersebut masih ada di zaman sekarang ini? Jawabannya masih dan inilah yang disebut dengan Sri Lanka.
Sri Lanka: negeri penuh senyuman
Begitu pesawat SriLankan Airlines mendarat di Bandaranaike International Airport yang letaknya satu setengah jam dari pusat ibukota Sri Lanka, Kolombo, saya langsung teringat kenangan saya mendarat di Indira Gandhi International Airport, New Delhi. Jalan-jalan di India memang punya kenangannya tersendiri dan berhadapan dengan orang India juga memiliki cerita unik yang tak akan pernah terlupakan. Stigma yang sama tahu-tahu muncul saat saya melangkah keluar dari pesawat.
Saya sudah siap-siap untuk adu ngotot dan anti tipu-tipu club ketika berhadapan dengan orang lokal, seperti yang saya pernah hadapi di India. Nyatanya? Perjalanan dari bandara ke hotel bed-and-breakfast tempat saya menginap, berlangsung tanpa tipu-tipu, nyaris tanpa hambatan.
Petugas imigrasi yang ramah setengah mati ketika memberikan saya stempel atas visa yang sudah saya ajukan sebelumnya, pegawai konter kartu SIM sangat membantu dan harga taksi dari bandara ke Kolombo yang bisa dibilang sangat wajar. Saya bisa memastikan kalau kedatangan saya sebagai solo traveler pertama kali di Sri Lanka ini mulus bagaikan jalan tol. Langkah awal yang melegakan sebelum melangkah ke tempat-tempat berikutnya di pulau ini.
Tidak ada wajah seram bagaikan Rahwana yang saya lihat. Orang-orang Sri Lanka ini sungguh sangat ramah dan gampang tersenyum. Rasa ingin tahu mereka pun lumayan tinggi, apalagi untuk muka-muka Indonesia yang sering disangka turis dari negara Asia Timur. Alasannya sederhana, tidak banyak orang Indonesia yang pergi ke Sri Lanka.
Jajahan Belanda, Deklarasi Kolombo dan Pengaruh Indonesia
Belajar dari sejarah, Indonesia punya hubungan yang erat dengan Sri Lanka. Hubungan ini adalah hubungan yang jauh dari sekadar Deklarasi Kolombo, deklarasi yang menjadi tonggak sejarah dibentuknya Konferensi Asia Afrika setelah Perang Dunia Ke-II. Negara ini juga dahulu pernah dijajah oleh Belanda sebelum jatuh menjadi jajahan Inggris dan pengaruh budaya Indonesia pun sangat terasa atau justru sebaliknya, budaya kita dipengaruhi oleh budaya Sri Lanka.
Dimulai dari batik yang menjadi kain tradisional lokal karena dibawa oleh VOC pada masa lalu dari Pulau Jawa, kata "sambol" yang berarti "sambal" dalam bahasa Indonesia atau kata "nasi" yang juga berarti "nasi dalam bahasa Indonesia sampai jenis makanan yang tak jauh berbeda dengan masakan di Indonesia yang berempah dan pedas.
Saat saya bercakap-cakap dengan supir Uber (iya, UBER sangat populer di Kolombo) dan mengatakan bahwa saya dari Indonesia, supir Uber tersebut langsung berkata, "Ah, Indonesia! Your country is a very nice country and always helps Sri Lanka, especially after the tsunami!" Saya pun teringat dengan bencana tsunami tahun 2004 yang menyapu hampir sebagian besar negara di kawasan Samudera Hindia dan bagaimana Indonesia serta Sri Lanka saling berkoordinasi dan membantu penanganan bencana yang merenggut nyawa ratusan ribu orang di kawasan.
Lantas, mengapa orang Indonesia jarang sekali berwisata ke Sri Lanka ya?
Apa yang dilihat?
"Ngapain lo ke Sri Lanka?" Itulah pertanyaan yang diajukan saat saya memutuskan untuk menghabiskan cuti liburan akhir tahun saya ke negeri ini. Saya sama sekali tidak merencanakan untuk berlibur ke Sri Lanka dan tiket yang dipesan adalah tiket last minute deal karena rata-rata harga tiket ke semua destinasi wisata sudah melambung tinggi. Dengan berbekal riset seadanya dan buku Lonely Planet yang baru dibeli di sebuah toko buku di Plaza Indonesia, saya tancap gas menuju Sri Lanka. Mengurus visa pun sudah dapat dilakukan dengan on-line dan tak sampai lima menit.
Ternyata, Sri Lanka ini mirip sekali dengan Indonesia untuk urusan pariwisata. Jika ingin berwisata ke pantai? Ada tempatnya. Mau berwisata ke pegunungan dan melihat perkebunan teh? Ada juga. Punya keinginan melihat reruntuhan candi bagaikan Angkor Wat atau Bagan dan bergaya bagaikan Lara Croft? Sri Lanka punya wilayah segitiga kota-kota masa lampau yang khusus memanjakan para pengelana yang haus akan pengetahuan sejarah. Mempelajari budaya yang mirip India? Sudah pasti ada.
Saya bisa mengatakan bahwa pariwisata di Sri Lanka ini memang all-in package alias serba ada, entah itu untuk urusan destinasi sampai tempat penginapan. Penginapan sekelas Aman di Amangala dan Amanwella sampai yang hotel bintang satu tersebar di seluruh penjuru pulau, membuat kita pun bisa memilih sesuai dengan budget serta kebutuhan.
Sri Lanka ini juga ramah untuk jalan-jalan sekeluarga. Di pesawat, saya melihat beberapa keluarga dari Indonesia yang membawa anak-anak mereka yang berusia di bawah 10 tahun untuk mengunjungi Sri Lanka, meskipun di beberapa tempat seperti Kandy, tidak banyak tempat untuk berkegiatan untuk anak-anak.
Local experience: menaiki transportasi bak orang lokal
Persamaan dengan Indonesia terjadi juga untuk urusan infrastruktur, terutama mengenai transportasi. Destinasi wisata dari kota ke kota dapat ditempuh dengan bus, kereta api atau air taxi (iya, kalau punya dana lebih, bisa mencoba taksi udara yang disediakan oleh Cinnamon Air atau Sri Lankan Airlines). Menggunakan kendaraan (entah itu taxi, bus atau tuk-tuk) dan kereta itu bisa memakan waktu hampir setengah hari, belum lagi ditambah dengan kesulitan memesan tiket kereta api yang harus dilakukan di stasiun kereta api atau bisa on-line dengan menggunakan agen-agen perjalanan pihak ketiga seperti Tour Masters Sri Lanka.
Saya mengakui bahwa hampir 1/4 waktu saya itu habis di perjalanan, jadi saran saya adalah menentukan kota mana saja yang akan dijelajahi dan berpikir "mau lewat mana" dan "dengan cara apa" agar lebih efisien dan tidak buang-buang waktu. Kalau dipikir-pikir lagi, perjalanan saya di Sri Lanka dengan menaiki bus, taksi, tuk-tuk dan kereta api adalah perjalanan yang sangat menyenangkan dan bisa dikatakan, salah satu highlight dari perjalanan saya.
Dengan menggunakan moda transportasi berbagai macam tersebut, saya dapat berinteraksi dengan warga lokal, melihat bagaimana sesungguhnya kehidupan orang Sri Lanka dan menikmati keramahan lokal. Saya masih ingat, bagaimana seorang ibu membantu menjaga tas punggung saya setelah saya memberikan tempat baginya untuk duduk di kereta ekonomi kelas II, yang membuat saya harus berdiri selama 2 jam dari kota bernama Galle kembali ke Kolombo. Di momen-momen seperti ini yang sukses membuat saya terkesima dengan bagaimana orang Sri Lanka memandang orang asing dan sifat ramahnya yang patut diteladani.
Sisi lainnya adalah, jika menggunakan kereta api, kita tidak akan pernah melewatkan pemandangan indah Sri Lanka yang masih hijau atau bahkan mengalami rasanya menikmati sunset di dalam kereta api yang bergerak maju di sebuah rel kereta yang letaknya tepat di pinggir pantai. Sayang tak ada yang menjual cocktail di dalam kereta!
Jadi, waktu ke Sri Lanka, singgah ke kota apa saja dan 'ngapain aja, Ga? Tunggu di postingan berikutnya.
Selamat mempersiapkan perjalanan!