top of page

01: Merapat ke Raja Ampat

Go show ke Raja Ampat? Bisa-bisa saja!


Tepat Pkl. 23.50 Waktu Indonesia bagian Timur, saya dan sahabat saya bernama Rachel berjalan ke dermaga resor sederhana yang terletak di Pulau Waisai, salah satu pulau terbesar di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. "Sepuluh menit lagi tahun baru!" seru Rachel sambil tertawa dan dari atas dermaga itu saya bisa mendengarkan suara letusan kembang api yang meluncur meriah ke langit Papua yang bertaburkan bintang.


Beberapa detik menjelang Pkl. 00.00, salah seorang bule kemudian menyalakan kembang api dan terlontarlah percikan api tersebut ke udara, diiringi suara ledakan dan bau mesiu yang terbakar. "SELAMAT TAHUN BARU!" saya sontak berteriak sehabis melihat jam tangan saya dan mengangkat gelas berisi kopi hitam ke udara.


Ya, saya sudah terlalu tua untuk urusan tahun baru semacam ini dan saya butuh kopi untuk membuat saya terjaga sampai tengah malam, hanya untuk mengucapkan ucapan selamat tahun baru.


Rachel tertawa dan saya pun dipeluknya erat. Saat segerombolan bule lain, para divers dari Italia yang menghabiskan akhir tahun mereka di tempat ini, sedang sibuk tertawa dan saling mengucapkan selamat tahun baru di dalam bahasa mereka, saya dan Rachel memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidur.


Akhir Tahun di Raja Ampat

Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa saya akan menghabiskan akhir tahun saya di tempat ini, surga bagi para penyelam dan dikenal karena keindahan bawah lautnya dan lanskap batu karangnya yang tinggi dan besar yang sangat Instagrammable. Saya baru memutuskan untuk pergi ke tempat ini baru beberapa minggu sebelumnya dan pertanyaannya, apakah mahal untuk pergi ke Raja Ampat? Maka jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya tidak semudah menjawab pertanyaan, apakah bumi itu bulat atau datar?


Sejauh ini, untuk bisa sampai ke Kepulauan Raja Ampat harus melalui pintu gerbang kota Sorong, Ibukota Provinsi Papua Barat. Terdapat beberapa kota besar yang menyediakan penerbangan langsung ke Sorong, misalnya dari Jakarta, Makassar, Ambon atau Manado. Saya memilih red-eye flight dari Jakarta dengan menggunakan Garuda Indonesia. Rutenya adalah Jakarta, transit di Makassar pada waktu dini hari, kemudian dilanjutkan dengan pesawat CRJ atau Bombardier dan tiba di Sorong sebelum Pkl. 07.00. Bagi saya, penerbangan red eye flight ini lumayan menghemat waktu perjalanan dan juga cuti.


Harga tiketnya? Untuk high season seperti pertengahan sampai akhir Desember adalah sekitar Rp5.500.000 untuk tiket pulang-pergi. Bagi saya, tiket dengan ukuran seperti itu tidak terlalu mahal, apalagi di musim liburan. Namun, bisa menggunakan alternatif pesawat lain seperti Lion atau Sriwijaya yang setahu saya memiliki rute penerbangan ke Sorong. Pintar-pintar saja melihat aplikasi pemesanan tiket untuk merencanakan liburan ke Raja Ampat.


Naik feri saja ka!

"Mau kemana ka?" tanya seorang pemuda Papua dengan baju merah bertuliskan "I LOVE PAPUA" menyapa saya dengan logat Papua-nya yang kental begitu saya tiba di Bandara Udara Domine Eduard Osok di Sorong. Saya tersenyum meskipun masih kelelahan karena tidak bisa tidur di pesawat, saya terlibat percakapan dengan sang pemuda tersebut yang pada akhirnya membantu saya mencarikan ojek untuk sampai ke pelabuhan.



Naik ojek di Papua! How cool is that! Ya, saya merasa bahwa biaya ojek di sini lumayan mahal dibandingkan di tempat-tempat lain, sekitar Rp20.000 untuk sekali antar dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Maklum, di sini bahan bakar minyak lumayan mahal walaupun Pak Jokowi telah berusaha untuk membuka akses seluas-luasnya agar bahan bakar minyak bisa dengan mudah masuk ke Papua, namun pencurian bahan bakar minyak masih sering dilakukan. Ini yang saya dengar dari tukang ojek kelahiran Sorong yang mengantar saya.


Saya tidak punya waktu banyak untuk bisa menghabiskan pagi di kota ini, apalagi mencari apa makan pagi yang enak, karena saya mengejar jam keberangkatan feri dari Sorong ke Waisai pada Pkl. 09.00. Terlambat datang ke loket atau kehabisan tiket maka saya harus menunggu sampai Pkl. 14.00 untuk bisa naik kapal selanjutnya. Saya juga baru tahu kalau feri ini di hari-hari tertentu tidak beroperasi atau hanya beroperasi satu kali saja dari Sorong ke Waisai ataupun sebaliknya, apalagi pada saat hari-hari raya. Tiket pun sepertinya tidak bisa dipesan secara online ataupun melalui telepon, semua harus dilakukan langsung di loket. Harganya? Tiket untuk kelas VIP dihargai Rp220.000 dan untuk kelas biasa Rp130.000. Saya dan sahabat saya, si Rachel, memilih untuk membeli tiket kelas biasa dan membaur dengan orang lokal. Kelas VIP lebih banyak diisi oleh para wisatawan asing dengan tas-tas mereka yang super besar dan berat.

Raja Ampat Utara dan Raja Ampat Selatan

"Duh panas banget!" Rachel berseru sambil menarik kopernya keluar dari kapal feri yang katanya ekspres ini. Dua setengah jam terombang-ambing di laut tanpa sinyal telepon membuat saya dan Rachel mati gaya. Sepanjang perjalanan, saya sibuk mengamati orang-orang di sekeliling dan memesan popmie dengan telur (yang diberikan dengan cangkang telurnya untuk dimasukkan ke dalam popmie yang diseduh) yang ternyata adalah makanan favorit di kapal feri ini.


Saya melihat sekeliling, pelabuhan yang berada di Waisai ini tampak hanya ramai saat kapal merapat saja. Di pinggir pelabuhan, sudah banyak tukang ojek dan juga sopir mobil yang menawarkan jasa untuk diantarkan sampai ke penginapan. Saya cukup terbelalak ketika mengetahui kalau biaya satu kali antar adalah Rp200.000 dari pelabuhan ke tempat penginapan yang dituju. Lagi-lagi, ini dimaklumi karena ini adalah Papua.

"Kalau di sini, yang dapat dilihat itu apa, Pak?" tanya saya kepada sang sopir yang membawa saya ke penginapan, Pak Suherman namanya. Ia adalah orang Jawa yang mencari peruntungan di Raja Ampat, bekerja sebagai sopir taksi tak resmi yang bisa disewa kemana-mana. Dari penjelasannya, saya baru tahu kalau Raja Ampat ini bisa "dibagi" di dalam dua wilayah yaitu Raja Ampat Utara dengan pusat atraksinya berada di Painemu atau Pianemo dan juga Raja Ampat Selatan yaitu Misool dengan pusat atraksi yaitu Harfat. Perlu waktu sekitar empat jam sampai enam jam untuk sampai ke Harfat dengan menggunakan kapal kecil cepat. Sungguh melelahkan namun terbayarkan.


Jadi sebenarnya, sama seperti di dunia ini yang penuh dengan pilihan, ketika berada di Raja Ampat, kita pun harus memilih mau menjelajah bagian apa dari Raja Ampat karena jarak satu tempat ke tempat lainnya lumayan jauh dan hanya bisa diakses melalui speedboat, kecuali kalau kita menantang diri kita untuk berenang di laut lepas.


Di dalam mobil berpendingin udara dari pelabuhan di Waisai untuk sampai ke penginapan yang baru di-booking dua hari sebelum keberangkatan, saya sudah mulai tidak sabar, untuk segera menceburkan diri dan bermain air di Raja Ampat.


Bagaimana cerita selanjutnya?

Related Posts

See All
bottom of page