"Gimana rasanya sudah sebulan di negeri orang, bukan sebagai traveler tetapi sebagai pelajar?"
Pertanyaan itu muncul di dalam benak saat saya sedang berjalan kaki ke kampus yang jaraknya tak 1 kilometer dari student housing tempat saya tinggal. Iya, gimana ya rasanya tinggal sendiri, jauh dari keluarga di Indonesia, tidak bekerja untuk beberapa lama dan tentu saja, rindu makanan Indonesia (dan segala kemewahan Gojek, GoFood, Grab dan restoran-restoran yang biasa saya datangi setiap hari)?
Jawabannya ternyata: growing up is difficult, indeed.
This is the real world
Selama ini saya tidak menyadari bahwa Jakarta adalah comfort zone saya. Saya lahir, besar dan tumbuh di Jakarta. Semua serba mudah. Semua serba gampang. Di minggu-minggu awal saya berada di Belanda, saya masih merasa bahwa saya sedang traveling sampai kemudian saya mulai harus berdamai dengan keadaan bahwa, saya ada di Eropa untuk sebelas bulan ke depan. Beberapa kali saya termenung, memikirkan bagaimana rindunya saya dengan Jakarta namun setelah dipikir-pikir, bukankah seharusnya saya menikmati apa yang di depan mata? Mulai dari udara dan angin dingin, makanan Belanda yang hambar, perkuliahan yang serba susah dan proses adaptasi yang lumayan bikin napas saya terengah-tengah. HAHA.
I just have to deal with it and move forward.
Saya bersyukur karena pengalaman-pengalaman traveling sebelumnya membentuk karakter saya, bagaimana kemudian saya punya prinsip "Ya udahlah," ketika menghadapi suatu pengalaman yang tidak mengenakkan. Betapa saya harus berusaha sedemikian rupa untuk tidak membanding-bandingkan kehidupan saya di Jakarta dengan kehidupan saya di Belanda, karena setiap tempat selalu ada hal yang menarik untuk dijelajahi dan dinikmati.
Di Belanda, saya benar-benar menghadapi dan belajar menjadi manusia dewasa yang lebih baik lagi. Bukan berarti ketika saya di Jakarta, saya tidak belajar untuk menjadi manusia dewasa. Namun, saya percaya bahwa saat kita keluar dari zona nyaman, di situlah karakter dan juga kepribadian diuji setengah mati. Saya jadi tahu dan yakin, apa yang saya mau di dalam hidup karena saya punya waktu merenungkan langkah hidup saya. Saya pun lebih memahami diri saya sendiri, apa yang saya suka, apa yang membuat saya sedih dan bahagia serta prioritas di dalam hidup.
Negara kecil dengan kemampuan ekonomi besar ini mengajarkan saya untuk memahami dan percaya akan potensi diri sendiri. Ada perasaan takut ketika melihat teman-teman sekelas tampak lebih pintar, namun kemudian saya berpikir ulang, saya di sini bukan untuk berkompetisi. Saya di sini untuk belajar dan mengalahkan diri sendiri, bukan mengalahkan orang lain. Jadi, chill aja, Beb!
Saya suka tidak percaya dengan kemampuan saya sendiri dan di sinilah saya belajar untuk memahami hal-hal positif dan negatif dari diri saya sendiri, untuk menjadi manusia yang lebih baik ketika kembali ke Jakarta. Saya seperti dihadapkan kepada sebuah cermin besar yang merefleksikan semua bagian di dalam hidup saya yang harus diperbaiki dan baru diketahui sekarang, di negara orang!
Kuliah bukanlah escape route
Kalau ada yang berpikir bahwa kuliah di luar negeri adalah pelarian dari dunia kerja, pikir dua kali. Beberapa waktu lalu sempat ada artikel yang mengatakan bahwa kuliah di luar negeri itu hanya sekadar jalan-jalan. Wah, itu memang ada benarnya namun kuliah di negara orang dengan bahasa pengantar yang bukan bahasa ibu dan segala "kemanjaan" yang biasa diterima di Indonesia harus dihadapi di depan muka, bagi sebagian besar pelajar di luar negeri depresi.
Tidak percaya? Buktikan saja sendiri. Di minggu-minggu pertama, pasti kita akan cenderung menikmati dan merasa bahwa apa yang selama ini diimpikan terjadi dengan begitu nyata, foto-foto di media sosial terpampang, kebahagiaan di dalam hati masih membuncah dan tentu saja, rasa bangga yang masih bergaung di telinga. Minggu-minggu berikutnya? Saat harus memasak sendiri, rasa makanan Indonesia di luar negeri yang jauh beda dengan rasa makanan di kampung, minimnya orang yang bisa diajak curhat dengan menggunakan bahasa Indonesia sampai segala sesuatu harus dikerjakan seorang dini, susahnya mata kuliah dan betapa pendidikan di Indonesia jauh berbeda dengan pendidikan di negara asing, membuat kita sadar bahwa: kuliah di luar negeri itu bukan liburan.
Saya belajar tentang resilience
Tidak semua orang memiliki resilience yang tinggi. Resilience adalah the capacity to recover quickly from difficulties; toughness. Ada orang-orang yang begitu dihantam oleh permasalahan, langsung bisa cepat bangkit dan memecahkan masalah. Di sisi lain, ada orang-orang permasalahan datang, malah cenderung untuk larut dalam kesedihan dan kemudian stress.
Bagi orang-orang yang sudah bekerja, kemampuan untuk membal atau melenting ini harus dimiliki karena kalau tidak, kita bisa cepat stress apalagi dengan tuntutan karir, keluarga ataupun diri sendiri. Iya, tuntutan diri sendiri itu terkadang lebih berat dibandingkan tuntutan orang di sekitar kita. Bekerja delapan tahun di kantor hukum, membuat saya wajib memiliki kemampuan ini. Dikejar-kejar klien dan tekanan dari kanan ataupun kiri, bisa membuat saya sakit jiwa kalau saya tidak memiliki kemampuan ini dan berkuliah di luar negeri ini salah satu cara lain untuk bisa memiliki resilience yang tinggi.
Ibarat kata nih, kalau sudah tahan terhempas angin Belanda selama satu tahun, maka angin di Jakarta mah nggak ada apa-apanya! Hahaha.
Namun, kuliah di luar negeri ini bukanlah semacam retreat dari hiruk-pikuknya kota Jakarta apalagi hanya sekadar ingin mencoba untuk tinggal di luar negeri secelup dua celup. Lagi-lagi, kita justru akan diperhadapkan pada beragam masalah yang selama ini kita tidak pernah hadapi di Indonesia dan harus dipecahkan dengan cara yang berbeda. Perbedaan sistem, budaya, bahasa ataupun lingkungan (bahkan cuaca!) sering membuat orang-orang yang sedang studi di luar negeri merasakan kesepian dan saya pun sempat beberapa kali merasakannya. Ini adalah bumpy road saat belajar di luar negeri.
Selama sebulan ini saya sudah belajar banyak, bahkan semacam kelas akselerasi kehidupan. Saya bahwa tahu kuliah ini hanya salah satu aspek dari pelajaran besar yang akan saya terima selama sebelas bulan mendatang. Saya mungkin akan merasakan kekecewaan saat ekspektasi tidak terpenuhi, tertawa karena mabuk dengan teman-teman baru, depresi karena tidak mengerti kuliah, berdebat dengan teman seangkatan, pertemuan dengan banyak orang baru dan yang pasti, menjadi bagian dari generasi yang tahan banting.
Selamat hari Minggu! Lewi Aga Basoeki