"Selamat menikmati akhir usia 20an!" Begitu kata ucapan salah satu teman saya ketika saya mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya di hari ini. Saya yang membaca pesannya di layar ponselnya mendadak tersenyum. Ini adalah dua bulan terakhir sebelum saya menginjak usia kepala tiga.
Saya kemudian langsung teringat, sebuah artikel yang pernah saya buat ketika saya menginjak kepala 2, sepuluh tahun lalu. Artikel itu ada di sini. Saya membacanya seksama dan kemudian tertawa dengan apa yang saya tulis di sana. Kehidupan kepala 2 rasanya begitu cepat berlalu, satu dekade saya mengalami berbagai macam hal mulai dari tawa sampai drama. Ketika saya melihat apa yang terjadi, rasa-rasanya saya harus lebih banyak bersyukur ketimbang mengeluh.
Banyak Drama
Saya sadar bahwa di pertengahan umur 20an kemarin, saya terlibat banyak drama. Entah itu drama dengan teman-teman kuliah, teman-teman sepermainan atau sahabat sendiri. Drama yang justru membuat saya sadar bahwa drama itu diperlukan sebagai salah satu bentuk proses pendewasaan menjadi pribadi yang lebih baik. Saya pada akhirnya lebih banyak mendengarkan dibandingkan banyak cakap. Saya lebih banyak memperhatikan dibandingkan memberikan penilaian. Saya tidak sembarangan percaya dengan orang untuk menceritakan rahasia-rahasia orang lain. Saya pun juga tidak dengan mudahnya menyebarkan berita yang diceritakan kepada saya.
Dulu saya comel setengah mati, mungkin sebabnya karena saya ingin dianggap penting di dalam komunitas. Saya punya "power" karena saya tahu segala hal. Namun ternyata, mengurusi urusan orang lain memang bukan bagian saya karena saya bukan psikolog. Saya menjadi paham bahwa urusan diri sendiri jauh lebih banyak ketimbang mengurusi hidup orang lain.
Saya mulai menghindari drama di dalam pertemanan dan tak mau menciptakan keriuhan. Kalau pun ada keriuhan, bagian saya hanya menjadi pendengar dan tak mau mencampuri urusan hidup orang lain. Saya pun belajar bahwa belajar beretika di dalam pertemanan itu penting dan menjadi orang yang dipercaya adalah suatu hal yang ternilai harganya di dalam sebuah pertemanan.
So please, avoid any drama at all cost!
Insekuritas
Saya dulu insecure. Saya tidak mau melihat cermin. Saya merasa diri saya jelek dan gendut. Tidak percaya? Coba saja scroll satu-satu artikel di dalam blog saya. Usia awal 20an, saya bukan pemuda yang prima dan percaya diri. Insecure adalah hal yang menjadi tema kehidupan sehari-hari.
Insecure terhadap penampilan ini yang kemudian hampir membawa saya menjadi orang yang tertutup dan menarik diri. Saya lupa bahwa sebenarnya ada bagian-bagian yang positif di dalam diri saya sendiri. Saya terlalu fokus pada kekurangan yang ada di dalam diri saya dan menegasikan setiap kelebihan yang saya miliki. Berapa banyak sih dari kita yang juga mengalami hal yang demikian?
Perasaan ini berlarut-larut hilang ketika saya mulai berolahraga dan juga jalan-jalan ke berbagai tempat di pertengahan usia 20an. Olahraga membuat saya lebih percaya diri, bukan berarti bentuk muka saya tiba-tiba berubah karena berolahraga. Disiksa di gym adalah sebuah peperangan batin dengan diri saya sendiri. Saya melawan rasa kemalasan serta mendorong diri saya sampai ke tepian dan ini adiktif ternyata.
Sekadar informasi, saya bukan orang yang rajin berolahraga di kala remaja (dan percayalah, saya lebih memilih 'ngerumpi di pinggir lapangan saat jam olahraga di kala SMA ketimbang harus berpanas-panas ria main bola di lapangan). Saya merasa bangga kepada diri saya sendiri saat di usia 20an, saya dengan kesadaran penuh, datang ke gym, angkat beban atau push up tanpa perasaan terpaksa. Saya berhasil melawan diri saya sendiri dan ini adalah pencapaian.
Sebaliknya, jalan-jalan ke tempat-tempat yang aneh membuka cakrawala berpikir saya tentang dunia yang luas ini. Saya tidak pernah menyangka kalau saya bisa lompat dari satu bandara ke bandara lainnya dan melihat bahwa di luar sana, masih banyak tempat yang harus dijelajahi. Saya selalu tersenyum ketika menarik koper saya, berjalan di travelator bandara dan melihat orang-orang di sekitar saya. Mereka juga para pengelana dunia, menuju tujuan masing-masing. Perasaan ini kemudian membuat saya memahami bahwa insekuritas tidak akan membawa saya kemana-mana. Setiap orang itu punya bagian dan berkatnya masing-masing di dunia ini, jadi jangan ngoyo. Saya pun tidak sepantasnya membandingkan diri saya dengan orang lain karena bukankah setiap manusia itu berbeda?
Tetapi sungguh, berkelana itu memang mengubah pandangan dan pola pikir saya tentang dunia!
Ya udahlah ya
Poin terakhir yang sepertinya saya pelajari di usia 20an adalah tentang prinsip "ya udahlah ya" alias letting go. Saya dulu terlalu serius dan lebih banyak menahan ego dibandingkan melepaskannya. Saat apa yang tidak diinginkan kemudian tidak didapatkan, rasanya dongkol setengah mati. Entah itu urusan percintaan, pekerjaan atau perasaan.
Ketakutan untuk melepaskan adalah salah satu bentuk ketakutan yang sangat manusiawi. Belajar untuk melepaskan itu penting di dalam hidup karena memang seringkali apa yang terjadi di dalam hidup itu tidak selamanya berada di bawah kontrol kita. Bukan demikian? Saat ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan, salah satu yang memang saya sering lakukan adalah berkata kepada diri sendiri, "Ya udahlah ya ..."
Kita tidak bisa memaksa hidup untuk sejalan dan sesuai dengan keinginan kita, itu egois namanya. Menerima kenyataan, menghidupi kenyataan dan berdamai dengan kenyataan merupakan pelajaran penting yang saya alami di usia 20an ini.
Menjelang kepala 3, di usia 29 ini, saya merasa bahwa saya sedang diuji oleh Sang Khalik. Semua peristiwa yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan seolah menghantam saya tiada henti di tahun ini. Sejujurnya, saya tidak begitu menyukai usia 29 karena usia ini adalah usia yang sedemikian tanggung dan usia akhir sebelum pada akhirnya dianggap sebagai "full adult" dan bukan "young adult". Tantangan keseharian rasanya ada saja dan bikin saya sakit kepala. Namun lagi-lagi saya ingat bahwa di dalam tahun-tahun mendatang, ketika saya melihat kembali apa yang terjadi di usia 29, saya pasti akan tertawa atas keputusan-keputusan yang saya ambil.
Saya pun ingat bahwa tantangan memang sudah seharusnya berat, kalau ringan sih namanya rantangan. Oke yang terakhir ini ngasal.
Selamat menjalani bulan-bulan terakhir di tahun 2017! Lewi Aga Basoeki