top of page

01: Kalau orang lain bisa ...


... maka kamu juga pasti bisa.


Kira-kira begitulah yang seringkali kita dengarkan saat kita bercerita tentang keinginan kita untuk mencapai sesuatu, dimulai dari urusan mendapatkan beasiswa, mencari kerja dan posisi yang diidam-idamkan atau bahkan pencarian tentang pacar atau pasangan. Kita menggunakan tolak ukur orang lain untuk suatu posisi yang kita idam-idamkan. Apakah ini salah?


Saya mencoba untuk bertanya kepada diri saya sendiri tentang bagaimana dampak melihat keberhasilan orang lain terhadap kehidupan saya sendiri. Pertanyaan dasar ini penting karena bukankah kita cenderung melihat kehidupan orang lain jauh lebih baik dibandingkan kehidupan kita sendiri? Saya seringkali merasa minder melihat teman-teman saya yang sukses, menurut ukuran saya, dan ketika saya melihat diri saya sendiri, saya berujar dalam hati kalau saya belum bisa sesukses mereka. Apakah ini adalah sesuatu yang benar dan etis?


Ukuran keberhasilan kemudian diukur dengan menggunakan penggaris hidup yang dimiliki orang lain yang otomatis bisa berbeda. Saya berusaha menyamakan ritme hidup saya dengan ritme hidup orang lain, jalan hidup saya dengan jalan hidup orang lain, dan (cenderung) memaksa Sang Khalik untuk, di dalam kadar yang sama dengan yang Sang Khalik turunkan dengan orang lain, kepada saya. Suatu pemaksaan kehendak.


Sebenarnya, menggunakan keberhasilan orang lain sebagai tolak ukur keberhasilan yang akan kita capai itu tidak seratus persen salah juga. Namun, saya mencoba untuk menjadi tidak ngoyo dengan pencapaian yang sudah saya dapatkan. Kalau saya memang hanya bisa mendapatkan nilai 90 dari usaha kerja keras yang saya lakukan, kenapa saya harus ngotot meminta nilai 100 dengan dasar orang lain mendapatkan nilai 100?


Saya belajar bahwa hidup dan keberhasilan adalah sesuatu yang sifatnya personal dan tidak bisa dibandingkan.


Mumpung masih di dalam suasana tahun baru, selamat mengerjakan resolusi!

Lewi Aga Basoeki

bottom of page